Kebutuhan Pangan MBG Capai Puluhan Ton per Bulan, IPB Tekankan Inovasi untuk Tekan Plate Waste

badangizinasional,bgn,dadan Foto: Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana. Dok: Istimewa.

Jakarta - Tantangan penyediaan pangan untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dinilai semakin kompleks seiring besarnya kebutuhan bahan makanan untuk Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dr. Dadan Hindayana, mengungkapkan bahwa kebutuhan pangan harian untuk ribuan anak sekolah menuntut sistem produksi, distribusi, dan pengolahan yang lebih efisien.

“Untuk 3.000 anak, satu bulan bisa butuh 5 ton beras, setara 10 ton gabah kering giling per bulan,” kata Dr. Dadan. Angka ini belum termasuk kebutuhan protein hewani. “Untuk telur saja, 3.000 anak memerlukan setidaknya 200 kg sekali masak. Kalau dua kali seminggu, kebutuhan bisa mencapai 1,6 ton per bulan.”

Menurutnya, Indonesia tidak dapat lagi mengandalkan pola produksi konvensional. MBG menghadirkan pendekatan baru karena untuk pertama kalinya pemerintah menjamin sekaligus produksi dan pembelian pangan.

“Selama ini kita bicara produksi, produksi, produksi. Tapi pembeliannya tidak pernah dijamin. Dalam MBG, pemerintah menjamin produksi sekaligus pembelian. Ini sesuatu yang belum pernah terjadi,” tegasnya.

Sementara itu, Kepala Lembaga Riset Internasional Pangan, Gizi dan Kesehatan (LRI-PGK) IPB University, Prof. Drajat Martianto, menilai penguatan SPPG, inovasi dapur besar, hingga teknologi penyimpanan sangat penting untuk memastikan makanan aman dan layak dikonsumsi setiap hari.

Ia juga menyoroti persoalan plate waste atau sisa makanan yang masih tinggi pada anak usia sekolah.

“Inovasi diperlukan untuk menekan plate waste sekaligus memastikan setiap anak mengonsumsi makanan bergizi sesuai porsinya,” ujar Prof. Drajat.

Ia juga memaparkan tantangan besar gizi nasional seperti triple burden of malnutrition dan hidden hunger, yang sering tidak terlihat secara fisik tetapi berdampak pada imunitas dan perkembangan anak.

Prof. Drajat menegaskan bahwa intervensi seperti MBG tidak boleh hanya berfokus pada 1.000 hari pertama kehidupan. “Kita tidak ingin melewatkan masa pertumbuhan pada usia sekolah dan remaja. Anak-anak stunting akan memiliki risiko tinggi penyakit tidak menular di masa dewasa,” jelasnya.