Kepala BNPB Tegaskan Pentingnya Mitigasi Berbasis Riset di Konferensi Internasional UNAND

bnpb Foto: Kepala BNPB, Letjen TNI Dr. Suharyanto. Dok: Istimewa.

Jakarta - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto menegaskan bahwa pengurangan risiko bencana di Indonesia harus berpijak pada riset dan kolaborasi ilmiah lintas sektor.

Hal itu disampaikan saat menjadi keynote speaker dalam Konferensi Internasional Penanggulangan dan Mitigasi Bencana ke-3 (3rd ICDMM) yang diselenggarakan Universitas Andalas (UNAND) di Padang.

Menurut Suharyanto, mitigasi berbasis riset merupakan langkah strategis dalam membangun bangsa yang tangguh menghadapi ancaman bencana.

Ia mengingatkan kembali tragedi gempa bumi berkekuatan 7,6 magnitudo yang mengguncang Sumatera Barat pada 30 September 2009, menewaskan ribuan orang, merusak lebih dari 135 ribu rumah, dan menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp22 triliun.

“Delapan puluh satu persen wilayah Indonesia rawan gempa. Karena itu, mitigasi tidak bisa hanya sebatas imbauan, tetapi harus berbasis bukti ilmiah dan riset yang kolaboratif, melibatkan unsur pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat, dan media,” tegas Suharyanto di hadapan peserta konferensi.

Ia memaparkan tiga strategi utama mitigasi yang kini menjadi fokus BNPB. Pertama, penguatan riset kebumian untuk memperbarui peta risiko secara detail. BNPB, kata Suharyanto, telah memanfaatkan hasil penelitian BRIN dan berbagai universitas, termasuk UNAND, dalam memetakan zona megathrust serta menyusun peta evakuasi tsunami di 182 desa rawan.

Kedua, pendekatan struktural berbasis rekayasa, melalui penataan ruang, penguatan bangunan tahan gempa, dan desain arsitektur adaptif terhadap risiko tsunami.

Ketiga, pendekatan non-struktural berbasis masyarakat dan teknologi, seperti pemanfaatan kecerdasan buatan untuk simulasi bencana serta pengintegrasian kearifan lokal dalam desain hunian aman bencana.

“Kita harus belajar dari Jepang tahun 2011. Bangunan tahan gempa tidak cukup. Kita perlu merancang rumah tahan tsunami agar korban bisa diminimalkan,” ujarnya.

Suharyanto juga menyampaikan apresiasi kepada Universitas Andalas atas komitmennya menjadi pusat riset kebencanaan di wilayah rawan bencana. Melalui penyelenggaraan konferensi internasional ini, ia berharap kolaborasi antara peneliti, praktisi, dan pembuat kebijakan dapat menghasilkan inovasi nyata yang berdampak langsung bagi masyarakat.

“Bencana adalah urusan bersama. Tidak ada satu pihak pun yang bisa bekerja sendiri. Sinergi pentaheliks menjadi kunci menuju Indonesia tangguh bencana,” tutupnya.

Konferensi 3rd ICDMM ini terselenggara atas dukungan Pemerintah Australia melalui program SIAP SIAGA, serta menjadi momentum penting bagi UNAND memperkuat jejaring riset kebencanaan di tingkat global.