Program MBG Jadi Gerakan Nasional: Gizi Anak Terpenuhi, Ekonomi Rakyat Tumbuh

badangizinasional,bgn,dadan Foto: Kepala Biro Hukum dan Humas BGN, Khairul Hidayati. Dok: Istimewa.

Jakarta - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kini berkembang menjadi lebih dari sekadar inisiatif pemenuhan gizi. Ia menjelma menjadi gerakan nasional yang menyatukan kepedulian, inovasi, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Di balik setiap piring makanan bergizi yang disajikan untuk anak-anak Indonesia, ada jutaan tangan yang bekerja, mulai dari dapur, petani, nelayan, hingga pelaku industri kecil.

“Selain memastikan anak-anak Indonesia tumbuh sehat dan cerdas, program ini juga menggerakkan ekonomi rakyat secara nyata,” ujar Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Nanik Sudaryati Deyang, dalam talkshow bertajuk “Upaya Meningkatkan Kualitas Gizi Bangsa Melalui Program Makan Bergizi Gratis” di Antara Heritage Center, Jakarta, Kamis (23/10).

Hingga Oktober 2025, lebih dari 36 juta penerima manfaat telah menikmati layanan MBG melalui 12.500 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tersebar di seluruh Indonesia. Setiap dapur MBG wajib memenuhi sertifikasi SLHS dan HACCP, serta didampingi chef profesional agar standar keamanan pangan tetap terjaga. “Kami ingin memastikan anak-anak tidak hanya kenyang, tetapi juga sehat dan aman dari risiko pangan,” tegas Nanik.

Lebih jauh, Nanik menyebutkan bahwa ekosistem MBG telah melibatkan 1,6 juta pekerja langsung dan 2,5 juta pekerja tidak langsung. Setiap dapur MBG mempekerjakan sekitar 50 tenaga kerja lokal, serta menggandeng 10–15 pemasok bahan pangan dari sekitar wilayah operasional. “Dampaknya luar biasa. Program ini mendorong tumbuhnya usaha mikro di sektor pertanian, perikanan, dan logistik,” imbuhnya.

Dalam sesi diskusi, Kepala Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan ORPP BRIN, Satriyo Krido Wahono, menekankan pentingnya riset pangan lokal untuk memperkuat ketahanan gizi nasional. “Kita tidak boleh hanya bergantung pada bahan impor. Potensi pangan lokal harus menjadi tulang punggung keberlanjutan program MBG,” ujarnya.

Sementara Prof. Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI, menyoroti pentingnya integrasi edukasi gizi sejak dini. “Gizi tidak cukup hanya diberikan, tapi harus diajarkan. Budaya sadar gizi seperti shokuiku di Jepang bisa kita terapkan lewat MBG,” katanya.

Dalam perspektif pengawasan mutu, Handry Wahyu Sumanto dari Indonesian Chef Association menegaskan bahwa profesionalisme di dapur MBG menjadi kunci. “Dengan pelatihan dan sertifikasi yang tepat, kualitas dan higienitas makanan bisa terus terjaga di seluruh lini,” ujarnya.

Tak hanya soal gizi dan ekonomi, BGN juga memastikan program ini berwawasan lingkungan. Kepala Biro Hukum dan Humas BGN, Khairul Hidayati, menjelaskan bahwa seluruh SPPG diwajibkan memiliki sistem pengelolaan limbah yang terverifikasi. “Kami berkolaborasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup untuk memastikan limbah sisa makanan bisa dimanfaatkan menjadi biogas, kompos, hingga bahan bakar biosolar,” tuturnya.

Beberapa daerah bahkan telah memanfaatkan limbah organik MBG sebagai pakan ternak dan maggot, sementara sampah anorganik didaur ulang menjadi produk kerajinan bernilai jual. “Pendekatan ini tidak hanya mengurangi sampah, tapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat sekitar dapur MBG,” tambah Hidayati.

Dengan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang terus meluas, Program MBG kini menjadi simbol kolaborasi lintas sektor demi masa depan anak bangsa yang lebih sehat, cerdas, dan mandiri.